Drama Pendadaran: Ngulang Skripsi Sampai Kena Semprot Dosen

Sebuah drama untuk mendapatkan gelar S.T. yang pada akhirnya nggak kepakai

Benefita
11 min readDec 20, 2020

Kalau ditanya momen apa yang paling membekas di tahun 2019 silam, gue bakal jawab: “Pendadaran.”

Yap, bukan saat pesta pelepasan ataupun euforia wisuda (karena gue tahu pasti stres karena nyari kerja sana sini).

Alasannya, proses menuju pendadaran itu udah kayak sinetron. Beuhhh… banyak banget dramanya. Mulai dari ngulang skripsi, ribut sama dosen, sampai ribetnya proses pendaftaran pendadaran.

Informasi dulu nih, jadi gue ini alumni Teknik Industri angkatan 2015. Gue lulus tahun 2019, tepatnya bulan Desember. Dan diwisuda di bulan Februari 2020 (pas banget sebelum Koronces menyerang).

So, ini cerita gue…

Ngulang Skripsi

Iya, gue ngulang skripsi. Kelulusan gue terbilang agak telat dari yang gue rencanakan. Tadinya sih pengen lulus bareng temen-temen YKT48 — geng kuliah yang terdiri dari 7 mahasiswi — biar bisa wisuda bareng di November 2019 gitu, tapi…

Sayangnya, ada kendala dari objek skripsi gue. Singkat cerita, perusahaan X tersebut menggantung perizinan buat riset. Ibarat kata hubungan tanpa status gitu lah (tadinya bole-bole tapi ending-nya nggak dikasih izin). So, terpaksa deh cari perusahaan lain.

Karena ganti objek penelitian sekaligus topik skripsyit, otomatis gue harus NGULANG skripsi dong HAHA.

Nah, kalau di kampus gue ini sistemnya mungkin agak beda dari kampus lain. Jadi pengerjaan skripsi itu dibagi dalam dua semester.

Satu semester untuk ngerjain Bab 1 sampai 3 (PPTA alias Proposal Pengajuan Tugas Akhir atau apalah lupa), semester berikutnya baru untuk Bab 4 sampai 6 (TA atau Tugas Akhir).

Buat dapetin acc untuk ngambil TA, PPTA harus disetujui dulu sama dosen pembimbing.

Berhubung gue baru mantap memutuskan ngulang skripsi di penghujung semester, ngejar garap Bab 1 sampai 3 itu kayak mission impossible.

“Masih bisa kekejar, Fit.”

“Itu si A juga ngulang, nyampe kok waktunya.”

“Masa mau nunda lulus, Fit?”

Itu yang teman-teman gue katakan. Tapi karena emang dasar orangnya mageran dan merasa diri belum cukup skill buat cari kerja (eaaa), akhirnya gue kekeuh buat ngulang PPTA.

Kemageran ini mengakibatkan gue harus legowo melihat satu per satu anak YKT48 pendadaran sedangkan gue masih bolak-balik ke Ruang Dosen.

Pendadaran YKT48 Member 1 (Dwi)
Pendadaran YKT48 Member 2 dan 3 (Gita, Marlin)
Pendadaran YKT48 Member 4 (Yulia)
Pendadaran YKT48 Member 5 (Beata)
Pendadaran YKT48 Member 6 (Vera)

Momen-momen pendadaran YKT48 ini pun jadi motivasi gue buat ngebut nyelesain skripsi biar bisa foto bareng meski nggak full-team.

Seiring waktu, gue mulai menyadari ngulang PPTA ada untungnya juga sih.

  • Pertama, proposal gue jadi lebih mateng daripada temen-temen seangkatan yang baru ngambil PPTA
  • Revisian jadi lebih enak karena sedikit-sedikit udah belajar dari kesalahan yang lalu
  • Lebih cepet dapet acc dari dosen pembimbing karena proposal lumayan mateng
  • Punya waktu lebih buat belajar di luar skripsi sekaligus cari-cari cuan dari part time dan internship

Di akhir, gue sama sekali nggak nyesel akibat ngulang PPTA. Hidup jadi agak lebih santuy, sisa waktu bisa dipakai kerja part-time dan magang, dan ternyata ini nggak semengerikan yang dikatakan teman-teman haha…

Momen Pelepasan YKT48 (minus Dwi yang udah kerja duluan dan gue haha)

Jadi intinya, selama lo yakin sama jalan yang lo pilih, tutup telinga aja deh dari keraguan orang lain. Toh juga ujung-ujungnya juga lo yang jalanin, lo yang berusaha, lo yang bertanggungjawab, kan? Wkwk xD

Ribut Sama Dosen Pembimbing

Next, ribut sama dosbing. Ini mimpi buruk semua mahasiswa yang lagi ambil skripsi sih kayaknya…

Kalian masih inget kan, di part sebelumnya gue bilang objek penelitan gue ganti? Nah gara-gara itu, secara otomatis topik skripsi juga ganti.

Tapi untungnya, topiknya masih sesuai dengan bidang dosen pembimbing pertama jadi nggak perlu tuh cari-cari dosbing baru. Yang jadi masalah… justru dosen pembimbing kedua gue.

Jadi awal mula gua ngajuin ada dosen pembimbing kedua adalah berangkat dari saran dosbing pertama. Kebetulan, masalah di perusahaan Z (objek penelitian baru) butuh masukan dari dosbing kedua yang memang bidangnya di sana. Jadi di akhir semester, gue minta persetujuan dosbing kedua tersebut dan disetujui.

Di semester depannya (saatnya Tugas Akhir), gue pertama kalinya dateng ke calon dosbing kedua sambil bawa skripsi yang sampai bab 4 atau 5 (lupa). FYI, durasi pengerjaan gue buat sampai sini emang cukup lama (sekitar 2–3 bulan) karena struggle di observasi.

Waktu itu dosbing kedua gue nanya, “Loh ini (skripsinya) belum selesai?”

Karena ditanya begitu, yang di pikiran gue oh kalau mau ke dosbing kedua itu skripsinya harus selesai dulu toh.’ Ya udah deh, gue nggak pernah lagi bimbingan ke dosbing kedua. Mau namatin skripsi dulu.

Plus, permasalahan yang harusnya dikonsultasi’in ke dosbing kedua tersebut pada akhirnya nggak kepakai karena terlalu kompleks. Jadi ya gue garap skripsi terus tanpa sekalipun menghadap dosbing kedua, sampai skripsinya tiba di Lampiran.

Hari itu gue dateng (dengan bangga karena bisa menuhin request bawa skripsi yang lebih utuh) dan mengetuk pintu bilik Bu Dosbing Kedua.

Tok tok…

Bu Dosbing Kedua yang lagi asyik baca berkas di atas meja mendongak.

“Permisi, Bu… saya bisa bimbingan nggak, ya?” tanya gue.

Kening Bu Dosbing Kedua sedikit berkerut. “Kamu siapa?”

Jantung gue langsung jumpalitan. Dug dug…. mampus keknya gue nggak diterima deh di sini.

Perlahan gue melangkah masuk. Memberanikan diri duduk di kursi di depan Bu Dosbing Kedua.

“Ini bu, saya yang 2 minggu lalu dateng. Yang dosbing keduanya Ibu..”

“Udah pernah ke sini?”

“Udah bu..”

“Kamu mau ngapain?”

Setelah nelen ludah dan gugup setengah mampus, gue menjelaskan, “Ini Bu, kemarin kan saya udah bimbingan. Terus Ibu nyuruh saya buat belajar Teori Antrian. Saya udah diskusi sama Ibu Dosbing Pertama, yang Teori Antrian itu batal karena terlalu kompleks. Tapi karena saya udah telanjur sama Ibu juga, jadi mungkin bisa bantu cek format kontennya gitu, Bu.”

Tanpa gue sangka, penjelasan itu malah bikin emosi Bu Dosbing Kedua meledak.

Telanjur? Jadi kamu terpaksa gitu sama saya?”

HEHEH MAMPUS GAK TUH.

Dengan keringet dingin, gue bilanglah, “Maksud saya bukan terpaksa gitu, cuma saya nggak mau aja ngerepotin Ibu kalau harus cek materinya. Bantu buat cek format konten aja nggak papa, tapi kalau misal ada materi yang kurang mau ditambah juga nggak papa.”

“Kamu mau saya selesainya kapan?”

Pertanyaan ini asli bikin gue bingung banget harus jawab apa. “Kalau hari rabu tanggal 6 bisa nggak, Bu?” tanya gue akhirnya.

Nggak disangka, detik berikutnya gue langsung diberondong amukan.

“KAMU KOK BERANI JAWAB PERTANYAAN SAYA? NGGAK PUNYA MANNER. JANGAN MENTANG-MENTANG KAMU BAYAR SPP KAMU MERASA BISA SURUH DOSEN. KEDATANGANMU KE SINI AJA NGGAK JELAS. SUKA-SUKA SAYA LAH MAU KOREKSI KAPAN. SAYA MAU SELESAI KAPAN JUGA TERSERAH, KAMU NGGAK BISA NGATUR-NGATUR SAYA. KAMU ANGGAP SAYA BAWAHAN KAMU?”

Asli, itu gue syok BANGET. Bahkan kalo inget-inget itu sampe sekarang, deg-degan dan takutnya kerasa lagi. Dan, nggak sampai situ aja guys

“Kamu aja nggak pernah keliatan. Dateng-dateng bawa ginian (yang udah hampir jadi). Kamu mau saya koreksi ini padahal intisari aja belum.”

Di sana gue bingung tuh. Setahu gue abstrak itu dibikin setelah skripsi di-acc, tapi baiklah gue berusaha menjelaskan kembali dengan mental yang udah ambyar dan kata-kata yang amburadul, “Maksud saya itu yang Bab 1 sampai lampiran dulu, Bu. Kalau sekalian ada yang mau Ibu usulkan gitu.”

“Kamu mau saya koreksi sebagian-sebagian? Ini daftar isi aja belum. Ini aja masih banyak yang salah kamu,” katanya sambil sedikit mendorong skripsi itu ke arah gue.

Bingung mau respon apa, gue nanya, “Kalau boleh tahu yang salah di bagian mananya, Bu? Biar nanti saya betulkan…”

“KAMU MAU SAYA KOREKSI SEKARANG?”

Udah mau nangis tuh gue :’)))

“Bukan, Bu. Maksud saya yang Ibu lihat sekarang ini. Biar saya perbaiki buat bimbingan selanjutnya.” Gue bilang gini maksudnya biar beliau tahu gue nggak menyepelekan revisian dari beliau.

Nggak punya manner. Kamu anak tunggal, ya?”

“Bukan, Bu. Saya bungsu dari dua bersaudara.”

“Pantes. NGGAK PUNYA ETIKA.”

Untuk pertama kalinya, gue nangis di depan dosen :’))) Air mata gue pecah, pokoknya berantakan banget itu mental dan hati gue HAHA. Keluar dari sana, kaki rasanya lemes dan yang di otak cuma masa depan skripsi ini suram :”)

Ceritanya ngacir ke WC buat menenangkan diri dan nangis sepuasnya

Minggu depannya, gue ngadep Ibu Dosbing Pertama. Dia nggak bilang apa-apa, ekspresinya juga kalem seperti biasa. Sampai akhirnya gue ngaku, “Bu, kemarin saya ada masalah sama…”

“Iya saya tahu.”

Nyawwww ternyata sudah dilaporin dongsss :’))

“Besok kalau ngomong jangan kayak gitu. Lebih hati-hati aja.”

Ucapan dari Bu Dosbing Pertama ini udah kayak adem sari bagi jiwa raga gue. Asli, itu leganya bukan main. Gue bener-bener takut kalau dimarahin lagi atau salah omong:”))

Ketika kembali lagi ke bilik Bu Dosbing Kedua, rasanya udah kayak mau masuk tempat jagal. Gemeteran, deg-degan, takut, campur aduk dah.

Surprisingly, beliau menyambut gue tanpa tatapan sinis. Sambil mengoreksi skripsi gue, kami ngobrol-ngobrol. Cukup banyak. Gue juga meminta maaf berkali-kali.

Ada cerita dari gue yang membuat beliau minta maaf juga. Intinya, momen itu jadi kayak momen Lebaran yang kami saling minta maaf dan memaafkan.

Ternyata, Bu Dosbing Kedua bisa diajak ngobrol dengan asik dan ramah. Bahkan, beliau juga ngasih gue sate di akhir percakapan xD

Setelah itu, skripsi gue berjalan seperti biasanya. Nggak ada lagi drama dimarahin dosen >< Buat dosbing pertama dan kedua gue, pokoknya love banget deh! ❤

Drama Daftar Pendadaran

Eitss, tunggu dulu. Dramanya belum selesai, guys.

Singkat cerita nih, skripsi gue akhirnya ready to go sehingga PR berikutnya adalah ndaftar pendadaran.

Bisa dibilang, proses buat bisa pendadaran itu cukup berdarah-darah. Gue harus cari tandatangan ke sana sini, belum kalo ternyata yang dicari entah berada di ruang mana atau malah udah pergi.

Hampir tiap hari selama bulan November itu gue bolak-balik ke kampus. Mana jarak rumah ke kampus cukup jauh ye kan, sekitar 14km. Masalahnya juga bukan cuma jauh, tapi muacetnya itu ya amsyong~

Kudu banget tuh berjuang bangun pagi dan nongkrong di depan Ruang Dosen. Bahkan gue sempet kecelakaan motor dan tetep nekad pergi ke kampus demi sebuah tandatangan HAHA

Ceritanya habis ditabrak. Kaki lecet dikit, badan pegel, rem motor agak bengkok

Masa penantian paling membekas mungkin ketika ngantri dapet ACC dari Prodi kali ya. Gue lupa-lupa inget sama prosesnya sih, tapi kira-kira begini:

  • Step #1: minta dosen penguji.

Ngantri dari jam 12 sampai 14.00. Pas giliran gue masuk, si Ibu berkata, “Yang bimbingan dulu ya yang masuk, biar cepet.” Dan yang bimbingan makin nambah sampe akhirnya gue nunggu sekitar 1–1,5 jam lagi :))

  • Step #2: minta kesediaan dosen penguji

Ini mengharuskan gue jadi penunggu kampus. Gue selalu jaga-jaga dateng pagi, eh dosennya baru bisa ditemuin malem.

Ditambah lagi, satu dosen nggak bersedia sehingga mau gak mau gue harus balik ke Prodi buat minta dosen pengganti (yang untungnya kebagian dosen yang jamnya enak ditemuin).

  • Step #3: minta ACC Prodi

Sebelum resmi daftar ke Tata Usaha, dokumen harus udah dapet ACC Prodi. Buat daftar ini pun juga waktunya dibatasi. Bisa dibilang, ini satu-satunya kesempatan gue buat bisa terhitung lulus di tahun 2019.

Waktu itu, gue sampe kampus jam 8.30. Langsung nongkrong di depan koridor Ruang Prodi, nungguin Kaprodi selesai rapat.

Nongki depan Ruang Prodi

Beberapa saat kemudian, Kaprodi keluar. Buru-buru dong gue datengin, dengan maksud minta TTD.

“Nanti ya habis sesi,” kata beliau. Kebetulan juga, setelah sesi itu ada acara khusus buat mahasiswa yang ngambil skripsi dan Bu Prodi yang jadi pembicaranya.

So, gue nunggu sampe sekitar jam 13.00 di koridor lantai 3. Acaranya mungkin kelar sekitar jam 15.00'an, gue agak lupa sih persisnya jam berapa.

Begitu Ibu keluar, gue sama temen-temen yang juga ngejar TTD langsung nyusulin dong. Dengan ramah Ibu menerima proposal kami sambil mengatakan, “Ini nanti diambil jam 4'an ya. Saya mau rapat dulu.”

Bareng temen-temen, gue nunggu rapat selesai. Sambil harap-harap cemas karena detik-detik terakhir pendaftaran pendadaran tuh.

Agak apes, waktu kami kembali ke Ruang Prodi, ternyata rapat belum selesai dan proposal kami masih teronggok di meja xD Ketika Bu Prodi keluar, beliau berkata, “Sebentar ya, saya sesi dulu.”

Baiklah, kami menunggu lagi di dalam Ruang Tata Usaha. Setiap pintu terbuka, respon kami otomatis nengok. Siapa tahu Ibu Prodi yang datang.

Rasanya bener-bener ngantuk dan laper banget. Gue sendiri juga baru sempet sarapan doang, mana kebetulan perut gue lagi mules gara-gara kemarinnya makan pedes. Jadilah tuh nunggu sambil nahan hasrat boker xD

Sekitar pukul 18.00, Bu Prodi kembali. Gue dan temen-temen udah girang tuh “AKHIRNYA DATANG JUGA”, tapi kalimat pertama yang beliau ucapkan bikin kami patah hati sepatah-patahnya :’))

“Besok, ya. Ini saya ada undangan layat mendadak e. Besok langsung ambil aja di atas meja saya. ”

Jadilah kami datang kembali besok paginya. Gue sih stay sekitar pukul 08.00, waktu itu ada dua orang lainnya yang juga nungguin. Ruang Prodi masih kekunci.

Untungnya, nggak lama kemudian Bu Prodi datang. Nggak nanggung-nanggung, beliau langsung menghampiri kami sambil memberikan berkas-berkas yang sudah ditandatangani dengan lengkap.

Hari itu rasanya seneng bangeeeeettt. Rasanya kayak habis dikasih duit 1M.

Akhirnya, gue berhasil mendaftar pendadaran dan yudisium di tahun 2019. Meskipun, dapet jadwal yang paling pengen banget gue hindarin: Sesi 1 alias jam 07.00 pagi.

Hari H pendadaran, parkiran masih super sepi
Muka super ngantuk, berangkat dari rumah jam 06.00

Gelar Nggak Kepakai

Akhirnya, berkat kemurahan hati para dosen penguji, gue berhasil lulus dengan nilai skripsi A. Finally, I got my S.T.!

Setelah Pendadaran

Dan yang terpenting, gue juga berhasil foto bareng YKT48 sebelum mereka balik ke kandang masing-masing (whatt??)

Foto Pendadaran Bareng YKT48

Gue seneng banget sih akhirnya bisa lulus dari kuliah teknik yang sebenarnya jauh dari passion (next time ceritanya).

Well, meski banyak drama, at least banyak juga hal yang bisa gue pelajari:

  • Lo yang paling tahu hal apa yang paling membuat lo nyaman. Semua orang punya timeline-nya masing-masing. Jadi nggak usah peduliin kata orang selama lo bisa keep on track dengan tujuan lo.
  • Belajar public speaking. Asli, ini PENTING BANGET. Biar lo nggak kayak gue yang waktu itu ngomongnya super belepotan, sehingga bikin misscom. Untung-untung kalau lawan bicaranya selow, tapi kalo pas lagi bad luck ya udah deh kena semprot kayak gue…
  • Perjuangkan keinginan lo selama itu worth. Berjuang mati-matian itu memang melelahkan, tapi ketika itu berhasil, rasa puasnya awet guys. Bahkan sampai sekarang pun gue masih senyum-senyum sendiri tiap inget perjalanan pendadaran gue.

Sebenarnya, drama pendadaran itu hanyalah secuil dari sekian banyak drama yang pernah gue alamin semasa kuliah.

Di masa itu, memang rasanya pait dan makan ati banget. Sampe kesel banget sama diri sendiri, prosedur yang ribet (untungnya sih sekarang kampus gue tersebut udah nerapin sistem yang serba tech jadi nggak seribet jaman gue), dan dosen.

Tapi hari ini, gue bisa mengenang itu semua sambil tersenyum :)

Bahkan meskipun gelar S.T. itu sekarang nganggur, gue sama sekali nggak nyesel karena nurutin keinginan orangtua untuk kuliah di jurusan yang keluar dari passion. Soalnya, ada banyak hal menarik yang gue temuin dan akan gue ceritakan di lain waktu xD

So, see ya eapss! :D

--

--

Benefita

Professional SEO Content Writer and forever storyteller